Kamis, 10 Juni 2010

Undang Undang Perlindungan Anak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;
d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;
e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;
f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak;

Mengingat: 1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);

Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK

Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah

Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 23
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Pasal 25
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua

Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
KEDUDUKAN ANAK

Bagian Kesatu
Identitas Anak

Pasal 27
(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.

Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran

Pasal 29
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.

BAB VI
KUASA ASUH

Pasal 30
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Pasal 31
(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.

Pasal 32
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan:
a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan.

BAB VII
PERWALIAN

Pasal 33
(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.
(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.
(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.
(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

Pasal 35
(1) Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.
(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan

Pasal 36
(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.

BAB VIII
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK

Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak

Pasal 37
(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan.
(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial.
(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 38
(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.

Bagian Kedua
Pengangkatan Anak

Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Bagian Kesatu
Agama

Pasal 42
(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Pasal 43
(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.
(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

Bagian Kedua
Kesehatan

Pasal 44
(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.
(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.
(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.
(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 45
(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.
(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 46
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

Pasal 47
(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan:
a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Bagian Ketiga
Pendidikan

Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada:
a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan
e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 53
(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
(2) Pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.

Pasal 54
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Bagian Keempat
Sosial

Pasal 55
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.
(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.
(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.
(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.

Pasal 56
(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat:
a. berpartisipasi;
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;
d. bebas berserikat dan berkumpul;
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

Pasal 57
Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.

Pasal 58
(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bagian Kelima
Perlindungan Khusus

Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas:
a. anak yang menjadi pengungsi;
b. anak korban kerusuhan;
c. anak korban bencana alam; dan
d. anak dalam situasi konflik bersenjata.

Pasal 61
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.

Pasal 62
Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui:
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.

Pasal 63
Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.

Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 65
(1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.
(2) Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan masyarakat dan budaya.

Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 67
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 68
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya:
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 70
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya:
a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;
b. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan
c. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.
(2) Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.

Pasal 71
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

BAB X
PERAN MASYARAKAT

Pasal 72
(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Pasal 73
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

Pasal 74
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

Pasal 75
(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota.
(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 76
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas:
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 85
(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 87
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 89
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 90
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.
(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 91
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 92
Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.

Pasal 93
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 109

Undang Undang Pengadilan Anak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1997

TENTANG

PENGADILAN ANAK


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;

b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus;

c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan dibentuk dengan Undang-undang;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu membentuk Undang- undang tentang Pengadilan Anak;


Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);

3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Anak Nakal adalah :

a. anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

3. Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan adalah Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

4. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.

5. Penyidik adalah penyidik anak.

6. Penuntut Umum adalah penuntut umum anak.

7. Hakim adalah hakim anak.

8. Hakim Banding adalah hakim banding anak.

9. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak.

10. Orang tua asuh adalah orang yang secara nyata mengasuh anak, selaku orang tua terhadap anak.

11. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

12. Organisasi Sosial Kemasyarakatan adalah organisasi masyarakat yang mempunyai perhatian khusus kepada masalah Anak Nakal.

13. Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 2

Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 3

Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.

Pasal 4

(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

Pasal 5

(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.

(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.

(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 6

Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Pasal 7

(1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.

(2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.

Pasal 8

(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka.

(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.

(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang- orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.

(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

BAB II

HAKIM DAN WEWENANG SIDANG ANAK

Bagian Pertama

Hakim

Pasal 9

Hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.

Pasal 10

Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 adalah :

a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum; dan

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

Pasal 11

(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.

(3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.


Bagian Kedua

Hakim Banding

Pasal 12

Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.

Pasal 13

Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim Banding.

Pasal 14

(1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat banding sebagai hakim tunggal.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.

(3) Hakim Banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.

Pasal 15

Ketua Pengadilan Tinggi memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya agar Sidang Anak diselenggarakan sesuai dengan Undang-undang ini.


Bagian Ketiga

Hakim Kasasi

Pasal 16

Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 17

Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berlaku pula untuk Hakim Kasasi.

Pasal 18

(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi sebagai hakim tunggal.

(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.

(3) Hakim Kasasi dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti.

Pasal 19

Pengawasan tertinggi atas Sidang Anak dilakukan oleh Mahkamah Agung.


Bagian Keempat

Peninjauan Kembali

Pasal 20

Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan atau orang tua, wali, orang tua asuh, atau Penasihat Hukumnya kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Undang- undang yang berlaku.

Bagian Kelima

Wewenang Sidang Anak

Pasal 21

Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara Anak Nakal.


BAB III

PIDANA DAN TINDAKAN

Pasal 22

Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

Pasal 23

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a. pidana penjara;

b. pidana kurungan;

c. pidana denda; atau

d. pidana pengawasan.

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Pasal 25

(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 26

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 27

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28

(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.

(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Pasal 29

(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.

(3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.

(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.

(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum.

(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.

(7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.

(8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.

(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.

Pasal 30

(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.

(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31

(1) Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.

(2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.

Pasal 32

Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja tersebut dilaksanakan.


BAB IV

PETUGAS KEMASYARAKATAN

Pasal 33

Petugas kemasyarakatan terdiri dari :

a. Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman;

b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial; dan

c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan.

Pasal 34

(1) Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a bertugas :

a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara Anak Nakal, baik di dalam maupun di luar Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan;

b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara dan harus mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.

(2) Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b, bertugas membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pekerja Sosial mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 35

Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dapat dibantu oleh Pekerja Sosial Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c.

Pasal 36

Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pembimbing Kemasyarakatan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Kehakiman.

Pasal 37

Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pekerja Sosial diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Sosial.

Pasal 38

Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas dan kewajibannya atau mempunyai keterampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial.

Pasal 39

(1) Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan terhadap anak.

(2) Pekerja Sosial Sukarela memberikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan.

BAB V

ACARA PENGADILAN ANAK

Bagian Pertama

Umum

Pasal 40

Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang- undang ini.

Bagian Kedua

Perkara Anak Nakal

Paragraf 1

Penyidikan

Pasal 41

(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal, dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada :

a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau

b. penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.

Pasal 42

(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.

(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.

(3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.


Paragraf 2

Penangkapan dan Penahanan

Pasal 43

(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.

Pasal 44

(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.

(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum.

(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.

Pasal 45

(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh memper-timbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.

(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.

(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.

(4) Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.

Pasal 46

(1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.

(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama 15 (lima belas) hari.

(4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada pengadilan negeri.

(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 47

(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.

(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 48

(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.

(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima belas) hari.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Banding belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 49

(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.

(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua puluh lima) hari.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan Hakim Kasasi belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 50

(1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

(2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 15 (lima belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 15 (lima belas) hari.

(3) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh :

a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;

b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri;

c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi.

(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.

(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

(6) Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada :

a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;

b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding.

Pasal 51

(1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

(2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 52

Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Penasihat Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar.


Paragraf 3

Penuntutan

Pasal 53

(1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penuntut Umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.

(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Pasal 54

Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Paragraf 4

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 55

Dalam perkara Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam Sidang Anak.

Pasal 56

(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berisi :

a. data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan

b. kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 57

(1) Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, terdakwa dipanggil masuk beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.

(2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 58

(1) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang.

(2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.

Pasal 59

(1) Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak.

(2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan.

(3) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

BAB VI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK

Pasal 60

(1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa.

(2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 61

(1) Anak Pidana yang belum selesai menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.

(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan secara terpisah dari yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 62

(1) Anak Pidana yang telah menjalani pidana penjara 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan yang sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik, dapat diberikan pembebasan bersyarat.

(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengawasan Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan.

(3) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan masa percobaan yang lamanya sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya.

(4) Dalam pembebasan bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).

(5) Pengamatan terhadap pelaksanaan bimbingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Pasal 63

Apabila Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak berpendapat bahwa Anak Negara setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit 1 (satu) tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan lagi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Menteri Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari lembaga dengan atau tanpa syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 64

Pelaksanaan ketentuan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 65

Perkara Anak Nakal yang pada saat berlakunya Undang- undang ini :

a. sudah diperiksa tetapi belum diputus, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini;

b. sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum diperiksa, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara Pengadilan Anak yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 66

Putusan hakim mengenai perkara Anak Nakal yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, atau yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi belum dilaksanakan pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-undang ini.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 67

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 68

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 3

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3668

Tata cara untuk pemberian ASIMILASI, PB, CMB DAN CUTI BERSYARAT

Tata cara untuk pemberian ASIMILASI, PB, CMB DAN CUTI BERSYARAT

a) TPP Lapas atau TPP Rutan setelah medengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan pembinaan dari wali pemasyarakatan , mengusulkan pemberian ASIMILASI, PB, CMB DAN CUTI BERSYARAT kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan :
b) Untuk Asimilasi apabila kepala Lapas / Kepala Rutan menyetujui usul TPP Lapas / TPP Rutan selanjutnya menerbitkan keputusan Asimilasi ;
c) Untuk CMB atau CB , apabila kepala Lapas menyetujui usul TPP Lapas / TPP Rutan selanjutnya meneruskam usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat.
d) Untuk PB apabila kepala Lapas / Rutan menyetujui usul TPP Lapas / TPP Rutan selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Ka.Kanwil Dep,Hukum dan HAM setempat dengan tembusan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
e) Ka.Kanwil Dep.Hukum dan HAM dapat menolak atau menyetujui usul CMB,CB atau PB setelah mempertimbangkan
hasil Sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
f) Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM MENOLAK tentang usul CMB, CB, PB maka dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut memberitahukan penolakan itu beserta alasannya Kepada Kepala Lapas/ Rutan.
g) Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM MENYETUJUI tentang usul CMB, CB, PB maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM MENOLAK menerbitkan keputusan tentang CMB, CB, PB
h) Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM MENYETUJUI tentang usul PB maka dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut meneruskan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan..
i) Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan MENOLAK tentang usul PB maka dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak tanggal penetapan memberitahukan penolakan itu beserta alasannya Kepada Kepala Lapas/ Rutan dan
j) Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan MENYETUJUI tentang usul PB maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan keputusan tentang Pembebasan Bersyarat

Persyaratan Asimilasi , Pembebasan Bersyarat

I.Persyaratan Substantif
yang harus dipenuhi oleh NAPI dan Anak Pidana adalah :

a) Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana.
b) Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif .
c) Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat.
d) Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinan napi dan Anak Pidana yang bersangkutan.
e) Berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah menadapat hukuman disiplin untuk :
 Asimilasi sekurang kurangnya dalam waktu 6(enam) bulan terakhir.
 PB dan CMB sekurang kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir
 Cuti Bersyarat sekurang kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir
f) Masa Pidana yang telah dijalani untuk :
 Asimilasi, ½ dari masa pidananya
 PB………….2/3 dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 Masa Pidana tersebut tidak kurang dari 9 bulan
 CMB ……..2/3 dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 bulan
 Cuti Bersyarat 2/3 dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 bulan dengan ketentuan apabila selama menjalani cuti melakukan tindak pidana baru maka selama diluar lapas tidak dihitung sebagai masa menjalani pidana

Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud diatas yang harus dipenuhi oleh anak negara adalah

a) Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas pelanggaran yang dilakukan
b) Telah menunjukkan budi pekerti dan moral yang positif
c) Berhasil mengikuti program pendidikan dan pelatihan dengan tekun dan bersemangat
d) Masyarakat dapat menerima program pembinaan anak negara yang bersangkutan
e) Berkelakuan baik
f) Masa pendidikan yang telah dijalani di Lapas Anak untuk :
1. Asimilasi sekurang kurangnya 6 bulan
2. PB sekurang kurangnya 1 tahun


II. Persyaratan Administratif yang harus dipenuhi oleh NAPI atau ANDIK
adalah :
a) Kutipan Putusan Hakim
b) Laporan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau Laporan Perkembangan Pembinaan Narapidana dan Andik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan.
c) Surat Pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Asimilasi, PB, CMB dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
d) Salinan Register F
e) Salinan Daftar Perubahan
f) Surat Pernyataan Kesangguapan dari pihak yang akan menerima narapidana dan anak didik pemasyarakatan seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah atau swasta DENGAN DIKETAHUI Pemerintah daerah setempat serendah rendahnya lurah atau kepala desa
g) Bagi Narapidana atau anak pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan :
1. Surat Jamunan dari KEDUBES / KONSULAT negara orang asing yang bersangkutan bahwa narapidana dan Andik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat syarat selama menjalani asimilasi, PB,CMB, Cuti Bersyarat.
2. Surat Keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

Khusus untuk narapidana tindak pidana KORUPSI, NARKOTIKA, PEMBALAKAN LIAR , ILLEGAL LOGGING maka Proses Asimilasi yang bersangkutan mengikuti ketentuan pada PP 28 tahun 2006.

Pengertian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Bersyarat

ASIMILASI
ADALAH PROSES PEMBINAN NARAPIDANA DAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN YANG DILAKSANAKAN DENGAN MEMBAURKAN NARAPIDANA DAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DIDALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
PEMBEBASAN BERSYARAT
ADALAH PROSES PEMBINAAN NARAPIDANA DAN ANAK PIDANA DILUAR LAPAS SETELAH MENJALANI SEKURANG KURANGNYA 2/3 MASA PIDANA MINIMAL 9(SEMBILAN) BULAN
CUTI MENJELANG BEBAS
ADALAH PROSES PEMBINAAN NARAPIDANA DAN ANAK PIDANA DILUAR LAPAS SETELAH MENJALANI 2/3 MASA PIDANA MINIMAL SEKURANG KURANGNYA 9(SEMBILAN) BULAN BERKELAKUAN BAIK
CUTI BERSYARAT
ADALAH PROSES PEMBINAAN NARAPIDANA DAN ANAK PIDANA NARAPIDANA DAN ANAK PIDANA DILUAR LAPAS BAGI NARAPIDANA DAN ANAK PIDANA YANG DIPIDANA 1 TAHUN KEBAWAH , SEKURANG KURANGNYA TELAH MENJALANI 2/3 MASA PIDANA

ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT , CUTI MENJELANG BEBAS DAN CUTI BERSYARAT
DILAKSANAKAN SESUAI DENGAN
ASAS ASAS DALAM PENYELENGGARAAN TUGAS UMUM PEMERINTAH DAN PEMBANGUNAN SERTA BERDASARKAN ASAS PENGAYOMAN , PERSAMAAN PERLAKUAN, DAN PELAYANAN PENDIDIKAN, PEMBIMBINGAN, PENGHORMATAN HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA.
KEHILANGAN KEMERDEKAAN MERUPAKAN SATU SATUNYA PENDERITAAN DAN TERJAMINNYA HAK UNTUK TETAP BERHUBUNGAN DENGAN KELUARGA DAN ORANG ORANG TERTENTU

10 Prinsip Pemasyarakatan

1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan.
3. Berikan bimbingan ( bukan penyiksaan) supaya mereka bertaubat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk, atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya pada narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing kejalan yang benar.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.
10. Pembinaan dan bimbingan diberikan kepada narapidana serta anak didik maka disediakan sarana yang diperlukan.

Undang undang Pemasyarakatan

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1995
TENTANG
PEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik yang manusiawi dalam satu system pembinaan yang terpadu;
b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan system kepenjaraan tidak sesuai dengan system pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir dari system pemidanaan;
c. bahwa system pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, merupakan rangkaian penegak hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak menghalangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab;
d. bahwa system kepenjaraan yang diatur dalam Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Stb.1917-749, 27 Desember 1917 jo.Stb. 1926-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan, Gestichten Reglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917), Dwangopvoeding Regeling (Stb. 1917-1714, 24 Desember 19170) dan Vitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Voroordeeling (Stb. 1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan, tidak sesuai dengan system pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, dan d perlu membuat Undang-undang tentang Pemasyarakatan.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9 ) jo. Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bartalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana./Prasarana Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara 3080).


Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMASYARAKATAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan system, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari system pemindahan dalam tata peradilan pidana.
2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
4. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan.
5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.
6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasrkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatanhukum tetap.
7. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.
8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
9. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seoarang yang berada dalam bimbingan BAPAS.
10. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang pemasyarakatan.
Pasal 2
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakat agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Pasal 3
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintergrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pasal 4
(1) LAPAS dan BAPAS didirikan di setiap ibukota Kabupaten atau Kotamadya
(2) Dalam hal dianggap perlu, di tingkat Kecamatan atau kota administrasi dapat didirikan Cabang LAPAS dan Cabang BAPAS.
BAB II
PEMBINAAN
Pasal 5
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas :
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Pasal 6
1. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di BAPAS.
2. Pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam BAB III.
3. Pembimbingan oleh BAPAS di lakukan terhadap ;
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingan diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.


Pasal 7
(1) Pembinaan dan pembimbing Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
(1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
(2) Pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku
Pasal 9
(1) Pejabat Fungsional sebagaimana pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan system pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(2) Ketentuan mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Bagian Pertama
Narapidana

Pasal 10
(1) Terpidana sebagaimana diterima di LAPAS wajib didaftar.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status Terpidana menjadi Narapidana.
(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan pembebasan Narapidana di LAPAS.
Pasal 11
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) menjadi :
a. Pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. Pemeriksaan;
c. Pembuatan pas foto;
d. Pengambilan sidik jari; dan
e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana.
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.
Pasal 13
Ketentuan mengenai pendaftaran serta pengelolaan Narapidana diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan barsyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Permerikasan.
Pasal 15
(1) Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Narapidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS ke LAPAS lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. proses peradilan; atau
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di LAPAS tempat Narapidana yang bersangkutan menjadi pidana, dilaksanakan setelah penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang kepada Kepala LAPAS
(2) Kepala LAPAS dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan penyidikan di LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar LAPAS setelah mendapat izin Kepala LAPAS.
(4) Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar LAPAS untuk kepentingan :
a. penyerahan berkas perkara;
b. rekonstruksi; dan
c. pemeriksaan di bidang pengadilan.
(5) Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar LAPAS setelah mendapat izin tertulis dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
(6) Jangka waktu Narapidana dapat di bawa keluar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) setiap kali paling lama 1 (satu) hari.
(7) Apabila proses penyidikan,penentuan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, Narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke LAPAS tempat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Bagian Kedua
Anak Didik Pemasyarakatan

Paragraf 1
Anak Pidana


Pasal 18
(1) Anak Pidana ditempatkan di LAPAS anak
(2) Anak Pidana yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftar.
Pasal 19
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) meliputi :
a. Pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pas foto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Pidana
Pasal 20
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Pidana di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Pasal 21
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Anak Pidana diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
(1) Anak Pidana memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kecuali huruf g.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Anak Pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Anak Pidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak Lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan;
d. proses peradilan; dan
e. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Anak Negara

Pasal 25
(1) Anak Negara ditempatkan di LAPAS Anak
(2) Anak Negara yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftar
Pasal 26
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri ; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pas foto;
d. pengambilan sidik jari ; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Negara.

Pasal 27
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan; dan
d. criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Pasal 28
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan anak Negara diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri


Pasal 29
(1) Anak Negara memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kecuali g dan i.
(2) Ketentuan mengenai syarat -syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Anak Negara wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Anak Negara dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat -syarat dan tata cara pemindahan Anak Negara sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintahan.

Paragraf 3
Anak Sipil

Pasal 32
(1) Anak Sipil ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak sipil yang ditempatkan diLAPAS Anak sebagaimana dalam ayat ( 1 ) wajib di daftar
(3) Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan ketetapan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 33
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 meliputi :
a. pencatatan ;
1. penetapan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa.
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pas foto;
d. pengambilan sidik jari ; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Sipil
Pasal 34
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Sipil di LAPAS Anak dilakukan penggolongan atas dasar ;
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. amanya pembinaan; dan
d. criteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Pasal 35
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Anak Sipil diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 36
(1) Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud Pasal 14 kecuali huruf g, I, k, huruf l.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
(1) Anak Sipil wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Anak Sipil dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak lain untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Klien

Pasal 39
(1) Setiap Klien wajib mengikuti secara tertib program bimbingan yang diadakan oleh BAPAS.
(2) Setiap Klien yang dibimbing oleh BAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftar.


Pasal 40
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) meliputi;
a. Pencatatan;
1. putusan atau penetapan pengadilan, atau Keputusan Menteri;
2. Jati diri;
b. pembuatan pas foto;
c. pengambilan sidik jari; dan
d. pembuatan berita acara serah terima Klien.
Pasal 41
Ketentuan megenai pendaftaran Klien diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 42
(1) Klien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 terdiri dari :
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelangbebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
(2) Dalam hal bimbingan Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan oleh orang tua asuh atau badan sosial, maka orang tua asuh atau badan sosial tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam hal bimbingan Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan oleh orang tua atau walinya, maka orang tua atau walinya tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 43
Dalam hal bimbingan Anak Negara diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial dan Anak yang diserahkan kepada orang tua walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf c, d, dan e, maka BAPAS melaksanakan :
a. pengawasan terhadap orang tua asuh atau badan sosial dan orang tua wali agar kewajiban sebagaimana pengasuh dapat dipenuhi;
b. pemantauan terhadap perkembangan Anak Negara dan Anak Sipil yang diasuh.

Pasal 44
Ketentuan mengenai program bimbingan Klien diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


BAB IV
BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN
TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN

Pasal 45
(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri.
(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli dibidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan nonpemerintah dan perorangan lainnya.
(4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS,BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas :
a. memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan
b. membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan dan
c. menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan
(5) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB V
KEAMANAN DAN KETERTIBAN

Pasal 46
Kepala LAPAS bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di LAPAS yang dipimpinnya.
Pasal 47
(1) Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.
(2) Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang berupa :
a. tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana atau Anak Pidana, dan atau
b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Petugas Pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib :
a. memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenangnya; dan
b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS.
(4) Bagi Narapidana atau Anak Pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi hukuman tutupan sunyi paling lama 2 (dua) kali 6 (enam) hari.
Pasal 48
Pada saat menjalankan tugasnya petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api sarana keamanan yang lain.
Pasal 49
Pegawai Pemasyarakatan diperlengkapi dengan sarana dan prasarana lain sesuai dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Ketentuan mengenai keamanan dan ketertiban LAPAS diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.


BAB VI
KETENTUAN LAIN

Pasal 51
(1) Wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada Menteri.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Pemasyarakatan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undangundang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini :
1. Ordonantie op de Voorwaardelijke Invrijheid-stelling (Stb. 1917-749, 27 Desember 1917 jo.Stb. 1926-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan;
2. Gestrichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917);
3. Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917); dan
4. Uitvoeringsordonanntie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb. 1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan; dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 54
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lampiran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 1995
MENTERI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1995 NOMOR 77